Jumat, 04 Januari 2013

Pernyataan Jenderal Polisi Timur Pradopo tentang kasus proyek simulator mengemudi sebetulnya merupakan kemajuan. Kepala Kepolisian RI ini bersedia diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dialah yang meneken penetapan pemenang tender proyek bermasalah itu. Tapi ucapan Jenderal Timur hanya akan bermakna bila kepolisian juga rela menyerahkan sepenuhnya kasus ini kepada komisi antikorupsi.

Khalayak telanjur mendapat kesan buruk mengenai perilaku kepolisian. Korps ini dianggap pernah menghambat penyidik komisi antikorupsi yang menggeledah kantor Korps Lalu Lintas demi menemukan bukti kasus korupsi itu. Polisi kemudian juga menangani kasus yang sama sehingga menimbulkan dualisme penyidikan. Padahal KPK sudah lebih dulu menetapkan tersangka kasus suap proyek senilai Rp 142 miliar itu. Di antaranya adalah mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Djoko Susilo.

Sikap nekat petinggi kepolisian berlanjut dengan menarik penyidik mereka dari komisi antikorupsi. Manuver ini jelas membuat KPK terganggu. Bahkan, jika penarikan penyidik itu terus-menerus dilakukan oleh kepolisian, tahun depan komisi antikorupsi hanya akan memiliki segelintir penyidik. Publik juga mencatat mangkirnya pejabat polisi yang beberapa kali dipanggil oleh KPK untuk diperiksa.

Tak hanya menyatakan kesiapannya dipanggil oleh KPK, Jenderal Timur semestinya segera menghentikan serangkaian manuver itu. Kepolisian juga mesti merelakan kasus ini ditangani secara penuh oleh komisi antikorupsi. Ini akan memupus kecurigaan bahwa kepolisian berupaya menutup-nutupi keterlibatan para jenderalnya.

Publik tentu kurang percaya kepolisian mampu membongkar tuntas skandal itu. Apalagi Kepala Polri jelas berperan dalam urusan proyek ini, setidaknya mengetahui prosesnya karena ia merupakan pejabat pengguna anggaran. Ini terlihat dalam surat bernomor Kep/193/IV/2011 tertanggal 8 April 2011 yang diteken oleh Jenderal Timur. Isinya berupa penetapan PT Citra Mandiri Metalindo Abadi sebagai pemenang lelang proyek simulator.

Sebagai pejabat pengguna anggaran, Kepala Polri memang belum tentu terlibat dalam korupsi proyek tersebut, dan sejauh ini belum muncul pula indikasi ke arah itu. Tapi, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, ia semestinya mengawasi secara ketat sehingga tidak terjadi penyimpangan. Apalagi Jenderal Timur pula yang menentukan pejabat yang menangani langsung lelang proyek itu.

Penanganan sepenuhnya kasus simulator oleh KPK akan segera memusnahkan kecurigaan publik. Komisi antikorupsi bisa membongkar tuntas kasus ini sehingga menjadi jelas petinggi polisi yang benar-benar menikmati uang haram dan yang sekadar menandatangani keputusan atau penetapan karena jabatannya.

Manuver polisi yang berlebihan selama ini justru akan merugikan korps ini karena masyarakat semakin pintar. Mereka akan cenderung membela KPK karena lembaga ini telah menunjukkan prestasi dalam memberantas korupsi. Opini publik bahkan dengan gampang bisa dipantau lewat media sosial. Bila mencermati betul pendapat masyarakat, kepolisian semestinya tidak mengambil langkah ngawur yang semakin mencoreng korpsnya.

Kalau Ada Korupsi Simulator, Kapolri Ikut Salah

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah menyatakan Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo bisa dimintai pertanggungjawaban dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi.

Direktur Kebijakan Pengadaan Umum LKPP, Setyo Budhi, mengatakan Timur sebagai pengguna anggaran harus mengetahui proses lelang tersebut. "Kalau ada kesalahan dalam proyek itu, Kepala Kepolisian harus bertanggung jawab," kata Setyo kepada Tempo Rabu 26 September 2012.

Setyo memastikan proses pengadaan barang dan jasa bisa menjerat pengguna anggaran. Ia mencontohkan, mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dijadikan tersangka dalam kasus pengadaan alat kesehatan. Siti adalah pengguna anggaran di Kementerian Kesehatan kala proyek itu diadakan.

Menurut Setyo, pengguna anggaran di semua instansi pemerintah, sesuai dengan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, memang harus menetapkan proyek yang nilainya di atas Rp 50 miliar. Tapi Kepala Kepolisian biasanya tak sendirian mengawasi dan menetapkan pemenang lelang. Biasanya, ada Inspektur Pengawasan Umum dan Deputi Logistik yang membantu.

Jika ada kejanggalan, ujar Setyo, Timur bisa menolak menandatangani keputusan pemenang. Setyo mencontohkan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad pernah menolak menetapkan pemenang lelang karena panitia lelang melanggar prosedur. "Ketika Fadel digugat oleh calon pemenang, pengadilan memutuskan dia tak bersalah."

Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, lembaga pegiat antikorupsi, Arif Nur Alam, meminta KPK menyelami kasus dan tak berhenti pada panitia lelang serta pejabat pembuat komitmen. Menurut Arif, KPK juga harus memastikan peran Timur Pradopo. "Kalau serius mengusut kasus ini, KPK harus mendalami hingga ke Kepala Kepolisian," kata Arif.

Sedangkan peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, menilai Timur pasti mengetahui proses pengadaan simulator itu.

Timur menyatakan siap diperiksa oleh KPK. "Saya bertanggung jawab (atas) apa yang saya lakukan. Saya siap diperiksa. Enggak ada masalah," kata Timur kepada Tempo, Rabu 26 September 2012.

Timur Perlu Paparkan Kasus Simulator SIM

Penasehat KPK Abdullah Hehamahua mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo dalam kasus korupsi simulator alat uji Surat Izin Mengemudi 2011.

Menurut Hehamahua, pemeriksaan dapat dilakukan bila data ada data pendukung terkait perkara itu. Selain itu, proses meminta keterangan Timur juga harus disesuaikan dengan perkembangan penyidikan. "Jadi semuanya tergantung kepada penyidiknya, apakah dibutuhkan atau tidak," ujarnya.

Pernyataan senada muncul dari koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko. Kata Danang, sudah seharusnya penyidik Komisi Antirasuah memeriksa Jenderal Timur Pradopo. Sebab sebagai pucuk pimpinan Polri, besar kemungkinan Kapolri tahu soal proyek ini. Apalagi nilai kerjaan itu di atas Rp 100 miliar.

"Peranan Kapolri di proyek simulator SIM bukan hanya membubuhkan tandatangan saja. Seharusnya ia juga mengikuti proses proyek ini dari awal lelang," kata Danang.

Dukungan KPK memeriksa Kapolri juga diucapkan pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar. Bahkan menurut dia, Jenderal Timur Pradopo bisa ikut bertanggungjawab dalam kasus korupsi proyek simulator SIM di Korps Lalu Lintas Polri. Alasan Bambang tidak beda dengan Danang, sebagai pimpinan tertinggi Polri, Timur sudah seharusnya tahu mengenai proyek simulator sejak awal. Dia pun memiliki kewenangan melekat untuk mengawasi kinerja bawahan.

"Kebijakan di kepolisian dalam satuan tertentu Kapolri pasti tahu karena program kerja. Jadi laporan proyek itu dikerjakan secara benar atau tidak, dia (Kapolri) harus tahu," kata Bambang.

Meski KPK belum beragenda bertanya ke Kapolri, ICW berharap Komisi Antirasuah tetap konsisten menyidik kasus ini, termasuk memanggil Timur untuk dimintai keterangan. "Di kasus korupsi lain, seperti korupsi di kementerian, menterinya saja dipanggil KPK, kan Kapolri posisinya sama," kata Danang. (IRIB Indonesia/Tempo)