EKONOMI INDONESIA 2012 : Dibayang-bayangi krisis ekonomi dunia dan kenaikan harga BB
Dr. Harry Azhar Azis
Wakil
Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan
Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009),
Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University,
Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).
Pendahuluan
Menjelang
tahun 2012, ekonomi Indonesia dihadapkan situasi global tidak
menentu. Krisis keuangan global berlanjut. Krisis Yunani, Italia,
Hongaria, termasuk Amerika Serikat menjadi penyebabnya. Pertumbuhan
ekonomi dunia melambat. Tahun 2010 mencapai 5,1%, 2011 diperkirakan
menurun ke 4%. Perdagangan dunia melambat, pertumbuhan hanya 7,5%,
lebih rendah dibanding 2010 sebesar 12,8%. Perlambatan di 2012
diperkirakan perekonomian dunia 4% dimana pertumbuhan ekonomi negara
maju 1,9 %. Volume perdagangan turun drastis menjadi 5,8 % pada 2012.
Keyakinan
fundamental ekonomi Indonesia 2012 masih kokoh dipertanyakan.
Pertumbuhan ekonomi diprediksi 6,7% atau sedikit naik dibanding 2011
sebesar 6,5%. Ini cukup bagus sejak krisis ekonomi 1997 dimana
pertumbuhan ekonomi minus 13,1%. Daya beli masyarakat terjaga dan masih
ada “gain” dari volume perdagangan dunia. Peringkat utang Indonesia
dari BBB- menjadi BB+ versi The Fitch's Asia-Pacific Sovereign Ratings.
Kenaikan peringkat ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang kuat,
rasio utang publik rendah dan menurun, likuiditas eksternal menguat,
dan kerangka kebijakan makro yang hati-hati[1]
Inflasi
rendah 5,3%, atau lebih rendah dibanding tahun lalu 6,96% %.
Indikator lain stabil. Tahun 2012, suku bunga SPN ditetapkan 6,0% dan
nilai tukar rupiah Rp. 8.800/US$1. Target penurunan kemiskinan
10,5-11,5%, pengangguran 6,4-6,6% dan setiap 1 % pertumbuhan ekonomi
menyerap 450 ribu tenaga kerja.
Tulisan ini mengangkat isu penting 2012, krisis global dan kenaikan harga BBM agar pemerintah menjadikan early warning system sehingga kebijakan efektif.
Krisis Global dan Efeknya
Secara
teori, efek krisis keuangan global dapat terjadi di Indonesia dalam
dua jalur: jalur pasar keuangan dan perdagangan. Di pasar keuangan
melalui capital inflow maupun outflow yang volatilitasnya tinggi. Pada capital inflow
karena tekanan pasar keuangan negara maju yang beralih ke negara
berkembang yang ekonominya tumbuh baik. Akibatnya, permintaan terhadap
rupiah sangat tinggi sehingga rupiah terapresiasi terhadap US$. Pada
capital outflow terjadi karena sentimen negatif di pasar
keuangan dimana permintaan cash US$ yang tinggi, rupiah terdepresiasi.
Untuk menjaga tetap stabil, yield di pasar obligasi pemerintah akan semakin tinggi.
Bank Indonesia (2011) mencatat selama November 2011, terjadi penarikan modal asing (net-outflows)
dari SUN (Rp 0,21T), saham (Rp 2,23T), dan SBI (Rp 6,2T). Outflows
dari SBI karena jatuh tempo. Penarikan modal portofolio menyebabkan
pembelian devisa oleh pihak asing mencapai net outflows USD 1,6M,
sehingga rupiah terdepresiasi 2,12%. Juga terjadi di pasar saham,
selama November 2011, net-beli asing mencapai Rp 2,7T, meski demikian
IHSG selama Nov cenderung stabil dengan koreksi 0,9%. Sementara di
pasar Surat Utang Negara selama November 2011, net jual asing mencapai
Rp 0,2T dengan tingkat yield SUN rata-rata stabil dengan penurunan 2
bps (Alamsyah, 2011).
Efek
krisis global di jalur perdagangan menyebabkan permintaan ekspor
turun dan terjadi pergeseran pasar ekspor. Total negara maju mencapai
34,3% (Semester I-2011). Jumlah tersebut menurun dibanding 2010
mencapai 34,6%. Jika dilihat dari negara tujuan ekspor, Eropa
menempati 10,4% dari pasar produk Indonesia, kawasan Asia mencapai
kurang lebih 62%. Implikasi ini berakibat peta pasar ekspor Indonesia
berubah meskipun sangat tergantung krisis global. Pasar kawasan Asia
akan menjadi tulang punggung ekspor negara ini, termasuk China menjadi
tujuan ekspor Indonesia.
Ekspor
Indonesia didominasi sektor primer dimana elastisitas permintaan
rendah yang meski gejolak namun hanya berdampak rendah bagi eskpor
primer. Meski demikian, pada sektor manufaktor non-resources based
akan terkoreksi. Ekspor manufaktur natural resources based mencapai
31%, eskpor pertanian 12%, pertambangan 38% serta manufaktor yang non-resources based 19% (Bank Indonesia, 2011).
Efek
global akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dari sisi ekspor barang
dan jasa. Penurunan ekspor berimbas pada menurunnya aktivitas ekonomi
masyarakat. Pada akhirnya konsumsi domestik berkurang dan pertumbuhan
ekonomi terkoreksi. Bank Indonesia, Bank Dunia dan ADB,
memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi turun dari prediksi semula yakni
6,3%.
Konsekuensi
lain yakni penurunan inflasi yang diakibatkan oleh permintaan global
yang menurun dan harga komoditas di pasar internasional juga terkoreksi.
Bank Indonesia memperkirakan efek global 2012 menurunkan laju inflasi
menjadi 4,9%.
Kondisi APBN 2012
Situasi
global ini sedikit berbeda dengan tahun 2008 karena krisis keuangan
baru dimulai dan terasa di 2009. Saat itu, asumsi makro ekonomi
terkoreksi. Peran stimulus pemerintah diperlukan agar perekonomian
tetap tumbuh. Misalnya, dengan mempertahankan tingkat konsumsi
masyarakat tetap tinggi. Pengalaman 2009 berbeda dengan 2012 dimana
“tingkat kegentingan” juga berbeda.
Situasi
tersebut tergambarkan dari postur APBN 2012. Posisi penerimaan
negara, diperkirakan Rp 1.311T. Naik sebesar 12,09 % dibanding APBN-P
2011. Penerimaan didorong peningkatan pajak dalam negeri 18,98%
dibanding tahun sebelumnya. Pajak dalam negeri 2012 ditetapkan Rp
989,6T. Pajak internasional justru turun 8,53% dibandingkan APBN-P
2011. Penyebabnya selain tarif rendah, faktor harga CPO internasional
yang menurun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar