Jumat, 16 November 2012

EKONOMI INDONESIA 2012 : Dibayang-bayangi krisis ekonomi dunia dan kenaikan harga BB

Dr. Harry Azhar Azis
Wakil Ketua Komisi XI Keuangan dan Perbankan DPR RI (2010-2014), Ketua Badan Anggaran DPR RI (2009-2010), Wakil Ketua Panitia Anggaran (2008-2009), Anggota FPG DPR Dapil Kepulauan Riau, PhD Oklahoma State University, Amerika Serikat (2000), lahir di Tanjungpinang (1956).
 
Pendahuluan
Menjelang tahun 2012, ekonomi Indonesia dihadapkan situasi global tidak menentu.  Krisis keuangan global berlanjut.  Krisis Yunani, Italia, Hongaria, termasuk Amerika Serikat menjadi penyebabnya.  Pertumbuhan ekonomi dunia melambat.  Tahun 2010 mencapai 5,1%, 2011 diperkirakan menurun ke 4%.  Perdagangan dunia melambat, pertumbuhan hanya 7,5%, lebih rendah dibanding 2010 sebesar 12,8%.    Perlambatan  di 2012 diperkirakan perekonomian dunia 4% dimana pertumbuhan ekonomi negara maju 1,9 %.  Volume perdagangan turun drastis  menjadi 5,8 % pada 2012.
Keyakinan fundamental ekonomi Indonesia 2012 masih kokoh dipertanyakan.    Pertumbuhan ekonomi diprediksi 6,7% atau sedikit naik dibanding 2011 sebesar 6,5%.   Ini cukup bagus sejak krisis ekonomi 1997 dimana pertumbuhan ekonomi minus 13,1%.  Daya beli masyarakat terjaga dan masih ada “gain”  dari volume perdagangan dunia.  Peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BB+ versi The Fitch's Asia-Pacific Sovereign Ratings. Kenaikan peringkat ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang kuat, rasio utang publik rendah dan menurun, likuiditas eksternal menguat, dan kerangka kebijakan makro yang hati-hati[1]
Inflasi rendah 5,3%, atau  lebih rendah dibanding tahun lalu 6,96% %. Indikator lain stabil.  Tahun 2012, suku bunga SPN ditetapkan 6,0% dan nilai tukar rupiah Rp. 8.800/US$1. Target penurunan kemiskinan 10,5-11,5%, pengangguran  6,4-6,6% dan setiap 1 % pertumbuhan ekonomi menyerap 450 ribu tenaga kerja.
 Tulisan ini mengangkat isu penting 2012, krisis global dan kenaikan harga BBM agar pemerintah menjadikan early warning system sehingga kebijakan efektif.

Krisis Global dan Efeknya
Secara teori, efek krisis keuangan global dapat terjadi di Indonesia dalam dua jalur: jalur pasar keuangan dan perdagangan.  Di pasar keuangan melalui  capital inflow maupun outflow yang volatilitasnya tinggi.  Pada capital inflow karena tekanan pasar keuangan negara maju yang beralih ke negara berkembang yang ekonominya tumbuh baik.  Akibatnya,  permintaan terhadap rupiah sangat tinggi sehingga rupiah terapresiasi terhadap US$.  Pada capital outflow terjadi karena sentimen negatif di pasar keuangan dimana permintaan cash US$ yang tinggi, rupiah terdepresiasi.  Untuk menjaga tetap stabil, yield di pasar obligasi pemerintah akan semakin tinggi.
Bank Indonesia (2011) mencatat selama November 2011, terjadi penarikan modal asing (net-outflows) dari SUN (Rp 0,21T), saham  (Rp 2,23T), dan SBI (Rp 6,2T). Outflows dari SBI karena jatuh tempo. Penarikan modal portofolio menyebabkan pembelian devisa oleh pihak asing mencapai net outflows USD 1,6M, sehingga rupiah terdepresiasi 2,12%.  Juga terjadi di pasar saham, selama November 2011, net-beli asing mencapai  Rp  2,7T, meski demikian IHSG selama Nov cenderung stabil dengan koreksi 0,9%.  Sementara di pasar Surat Utang Negara selama November 2011,  net jual asing mencapai Rp 0,2T dengan tingkat yield SUN rata-rata stabil dengan penurunan 2 bps (Alamsyah, 2011).
Efek krisis global  di jalur perdagangan menyebabkan permintaan ekspor turun dan terjadi pergeseran pasar ekspor.  Total negara maju mencapai 34,3% (Semester I-2011).  Jumlah tersebut menurun dibanding 2010 mencapai 34,6%. Jika dilihat dari negara tujuan ekspor,  Eropa menempati 10,4% dari pasar produk Indonesia, kawasan Asia mencapai kurang lebih 62%. Implikasi ini berakibat peta pasar ekspor Indonesia berubah meskipun sangat tergantung krisis global. Pasar kawasan Asia akan menjadi tulang punggung ekspor negara ini, termasuk China menjadi tujuan ekspor Indonesia.   
Ekspor Indonesia didominasi sektor primer dimana elastisitas permintaan rendah yang meski gejolak namun hanya berdampak rendah bagi eskpor primer.  Meski demikian, pada sektor manufaktor non-resources based akan terkoreksi.  Ekspor manufaktur natural resources based mencapai 31%, eskpor pertanian 12%,  pertambangan 38% serta manufaktor yang non-resources based 19% (Bank Indonesia, 2011).
Efek global akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dari sisi ekspor barang dan jasa.  Penurunan ekspor berimbas pada menurunnya aktivitas ekonomi masyarakat.  Pada akhirnya konsumsi domestik berkurang dan pertumbuhan ekonomi terkoreksi.  Bank Indonesia, Bank Dunia dan ADB,  memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi turun dari prediksi semula yakni 6,3%.
Konsekuensi lain yakni penurunan inflasi yang diakibatkan oleh permintaan global yang menurun dan harga komoditas di pasar internasional juga terkoreksi.  Bank Indonesia memperkirakan efek global 2012 menurunkan laju inflasi menjadi 4,9%.

Kondisi  APBN 2012
Situasi global ini sedikit berbeda dengan tahun 2008  karena krisis keuangan baru dimulai dan terasa di 2009.  Saat itu, asumsi makro ekonomi terkoreksi.  Peran stimulus pemerintah diperlukan agar perekonomian tetap tumbuh. Misalnya, dengan mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat tetap tinggi.  Pengalaman 2009 berbeda dengan 2012 dimana “tingkat kegentingan”  juga berbeda.
Situasi tersebut tergambarkan dari postur APBN 2012.  Posisi penerimaan negara, diperkirakan Rp  1.311T.  Naik sebesar 12,09 % dibanding APBN-P 2011. Penerimaan didorong peningkatan pajak dalam negeri 18,98% dibanding tahun sebelumnya.  Pajak dalam negeri 2012 ditetapkan Rp 989,6T. Pajak internasional justru turun 8,53% dibandingkan APBN-P 2011.  Penyebabnya selain tarif rendah, faktor harga CPO internasional yang menurun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar